Awas , aku selalu ada di balik namamu. Bersembunyi di bawah
semburat kain-kain sendu yang melayang jauh. Menjauhi kedua pelupuk mataku.
Saat kau panggil angin untuk kau gunakan sebagai kendaraan petualangan cintamu,
aku terbidik semu. Aku terbidik semu seiring mengikuti langkah-langkah biru
itu. Ingatkah kau? Nyiur melepas lelahnya ketika kita berangan-angan dengan
kumpulan awan di siang bolong. Entah dinosaurus kah, mobil-mobilan, atau apa
lah, tak peduli itu untuk gurauan anak kecil belaka atau bukan. Namun, seiring
dengan bergemingnya waktu, aku tahu semua yang telah digoreskan oleh apa yang
kita buat selama ini suatu saat nanti akan termakan oleh tong sampah. Ya,
PASTI. Saat ini aku mungkin tak kau gubris atau mungkin kau bungkam karena itu
hanyalah masa lalu. Perih memang. Tapi untuk saat ini, aku melangkah
perlahan-lahan, menahan rasa amarahku dan menggantinya dengan usaha keras
mengais tong sampah yang pernah terbuang di situ goresan tentang kita semuanya.
Mulai dari nol. Aku pun terus mencari dan tetap terus mencari. Dari ‘kendaraan
petualangan cinta’mu itu, perjalanan sang awan dalam membentuk impian kita berdua,
sampai gurauan khas anak kecil yang sampai saat ini kuingat jelas. Fiuuh, aku
dapat! Dan entah apa yang kurasakan, hanyalah manis bersemu hambar yang susah
didapatkan. Semacam analogi permen karet kali ya? Yang ketika rasa manisnya
hampir habis akibat kelamaan dikunyah, lama-kelamaan hambar. Hai kau! Ambilkan
darah putih yang pernah kau kubur di makam belakang rumahku! Mungkin aku bisa
menyayat kulit ini, atau menghisap tuntas semua darah putih yang (jika mau) kau
ambilkan, babat habis sampai titik tetes penghabisan! Sadisme seperti lirik
lagu kematian pun berdentang hebat memacu aliran jantung, mengambisikan tangan untuk selalu
mengepal, mengepalkan jari manis yang terkupas habis. Tulang pun terlihat,
HAHAHAHAHAHAHAHAHA!! Inilah mainanku saat ini! *to be continued*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar