Sabtu, 12 Juli 2014

#5

Jika melampau semua dengan bahagia, anginpun menari sumringah
Apalagi bergandengan dengan bisikan-Nya pasti sungguh lebih menengadah
Mulai matahari menggeliat malu..
Mulai matahari menegakkan tulang punggung..
Dan sampai gulita berselimut suguhan sang Pencipta..
Tetap menggoreskan dua nyiur yang bercengkrama sembari meneduhkan awak awam.

Ada lagi langkah-langkah berbekas dan berderu
Ketika kamu berkumpul menggarisi ayat-ayatNya di suatu huni
Ketika kamu mencubiti geliat para pemuda-pemudi berbudi
Dan ketika rasa kebersamaan tertampung dalam tangan-tangan manusia.
Nilai butir sepuluh ribu hanyalah secuil dari realita bianglala

Sampai pada hakikat juang demi meraih bangku depan
Bertemu para pelukis cahaya di garis depan
Kapankah aku? Punyakah aku?
Sempat membelalak penuh kagum berbisu

Hingga berhinggap di sarang yang berdikari
Terbang kembali dengan rona putih menuju panggung merah, sebuah simulasi.
Sembari kaki melelahkan di aspal menuju sarang, tampak terasa dua nyiur.
Yang satu trapesium, dan yang satu segitiga.
Telah tertanam lagi, di sini.
Di sarang maupun di sanubari.

Tidak ada komentar: